- Demak Targetkan Lolos Popda Tingkat Propinsi Jawa Tengah
- Bupati Demak Buka Tradisi Sedekah Laut Di Pesisir Pantai Utara
- Kapolres Demak Imbau Masyarakat Tingkatkan Kewaspadaan Saat Dilokasi Wisata
- Patroli Samapta Polres Demak Sasar Lokasi Wisata Saat Libur Lebaran
- Polres Demak Terjunkan Ratusan Personel Untuk Amankan Sholat Idul Fitri
- Bupati Demak : Lakukan Pengamanan Malam Takbir Dengan Humanis
- Polres Demak Imbau Masyarakat Jaga Kamtibmas di Malam Takbir
- Polres Demak Bagikan Zakat Fitrah Langsung Ke Masyarakat
- Pulihan Sektor Pertanian, Bupati Demak Serahkan Bantuan Alsintan Senilai Rp 10 Milyar
- Bupati Demak Sambut Kedatangan ratusan Pemudik Dari Jakarta
Kesehatan Reproduksi di Mata Islam
Oleh Gunoto Saparie
Sampai hari ini, harus diakui, fakta yang ada menunjukkan tentaang masih rendahnya kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Sejumlah indikator mengenai hal ini dapat dilihat antara lain pada Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih menempati posisi tertinggi di Asia Tenggara; jumlah aborsi tidak aman yang semakin meningkat; Orang dengan HIV/AIDS yang semakin menyebar; kanker rahim dan payudara yang masih banyak; relasi seksual tidak sehat yang semakin menggejala; dan kekerasan dalam rumah tangga yang makin menjadi-jadi.
Tentu saja kenyataan itu menunjukkan rendahnya pengetahuan tentang kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, pada masyarakat Indonesia. Selain itu, pemerintah sampai saat ini agaknya belum cukup serius dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi bagi masyarakatnya. Hal ini sungguh mencemaskan kita, terutama berkaitan dengan masa depan bangsa. Padahal kesehatan adalah basis dan modal utama manusia untuk membangun kehidupan yang sejahtera.
Perbincangan yang komprehensif tentang hak-hak reproduksi di tingkat internasional pertama kali digelar di Kairo Mesir, yakni pada Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) beberapa tahun silam. Konferensi yang digelar oleh PBB ini melahirkan satu dokumen penting yang dikenal dengan Dokumen Kairo.
Baca Lainnya :
- Taat Kepada Ulil Amri Wajib Hukumnya
- Benarkah Musik Haram?
- Melalui Puisi Alquran Berbicara
- Islam dan Media Digital
- Pentingnya Belajar Nahwu Sharaf
Isinya antara lain bahwa hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi tertentu yang telah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen hak asasi internasional dan dokumen kesepakatan PBB terkait lainnya. Hak-hak ini berlandaskan pada pengakuan tentang hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya dan hak untuk memperoleh informasi tentang hal itu, serta hak untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi dan seksual.
Akan tetapi, realitas sosial tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi di Indonesia masih belum sepenuhnya seperti yang diinginkan. Hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan masih dianggap isu yang sensitif karena berkaitan dengan relasi suami terhadap istri. Situasi ini memunculkan suatu pertanyaan mendasar tentang kepemilikan tubuh perempuan. Kondisi ini semakin sulit karena ketimpangan relasi gender juga mendapatkan legitimasi dari sistem sosial, budaya, dan agama.
PANDANGAN ISLAM
Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah kesehatan manusia, terutama kesehatan reproduksi perempuan? Jawaban secara normatif adalah, Islam tidak mungkin mengafirmasi lahirnya masyarakat muslim dengan kualitas kesehatan yang buruk atau rendah. Islam adalah agama yang bercita-cita menciptakan keselamatan dan kesejahteraan manusia lahir-batin.
Islam itu sendiri bermakna selamat, sehat, dan sejahtera. Karenanya, segala tindakan dan kebijakan manusia yang mengandung unsur penyelamatan, kesehatan, dan kesejahteraan adalah sejalan dengan Islam.
Kesehatan reproduksi perempuan sebenarnya sangat dijaga dalam Islam. Para ahli fikih dan ulama-ulama klasik banyak menyinggung hal itu. Salah satu upaya perlindungan bagi kesehatan reproduksi perempuan adalah menjauhkan risiko bagi kaum ibu dan anak akibat kehamilan yang berlebihan. Selain itu, juga menjaga jarak kehamilan yang terlalu padat dan dekat antara satu anak dengan anak lainnya.
Dalam Islam, pembicaraan tentang kesehatan reproduksi sesungguhnya bukan hal baru. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah ayat Alquran, Alhadis, tafsir, maupun fikih. Ada ayat yang menjelaskan tentang tema kesehatan reproduksi yang sangat sentral yaitu haid dan hal-hal yang mengitarinya.
Ayat dimaksud terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqaarah ayat 222-223: "Dan mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu sakit maka hindarkanlah kamu (dengan tidak berhubungan intim) dengan istri yang sedang haid dan janganlah mendekatinya hingga mereka suci. Lalu apabila mereka sudah bersuci (mandi besar), datangilah mereka dari jalan yang Allah perintahkan. Sungguh Allah mencintai orang-orang senang bertaubat dan mencintai orang-orang yang pandai menjaga kesucian. Istrimu adalah sawah-ladang bagimu. Datangilah sawah-ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan lakukanlah (kebaikan yang akan kembali) untuk dirimu sendiri. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian akan menjumpai Allah. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman".
Ayat tersebut konteksnya adalah menjawab pertanyaan para sahabat Nabi Muhammad tentang apa yang boleh dan tidak boleh ketika seorang perempuan mengalami haid serta keadaan yang dialami oleh perempuan yang haid. Dari ayat tersebut dapat dipahami isyarat pentingnya para suami berperan aktif dalam menjaga kebersihan/kesucian, kesehatan, dan kenyamanan kaum perempuan (terutama usia haid aktif), sehingga pengalaman haid tidak menjadi beban, baik fisik maupun psikis, dan seksual bagi perempuan, namun justru menjadi maslahat atau membawa hikmah bagi kehidupan dalam berbagai bentuknya.
Dengan turunnya ayat di atas, maka diluruskanlah pandangan kaum Yahudi bahwa jika seorang istri sedang haid harus dijauhi sama sekali. Selain itu, ayat tersebut juga meluruskan bahwa berhubungan melalui jalur dubur (belakang) ke qubul (kemaluan) dalam pandangan kaum Yahudi saat itu akan menyebabkan anak yang dilahirkan bermata juling (ahwal).
Hal ini sempat mengundang kaum perempuan Anshar gmpar dan bersikap salah ketika suami mereka hendak mendatangi melalui arah dubur ke kemaluan atas dasar pandangan keliru tersebut sehingga turun ayat ini meluruskannya. Ayat tersebut juga menjelaskan tentang dibolehkannya suami-istri saling menggembirakan (mubasyarah) antara keduanya, selama tidak melakukan hubungan intim, yakni menghindari hubungan seksual (hingga sang istri telah bersuci dengan mandi besar).
MENJAGA KEBERSIHAN
Allah menjadikan kriteria hamba-hamba-Nya yang beriman dan meraih keberuntungan (al-muflihun), selain shalatnya yang khusuk, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, membayar zakat, adalah dengan menjaga kebersihan/kesucian kemaluan (dari yang kotor dan tindakan kotor) serta memelihara amanah, sumpah, dan janjinya. Mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus.
Bukan saja Alquran, masalah bersuci sangat ditekankan dalam Alhadis. Hal itu menunjukkan bahwa semua yang terkait bersuci, persucian, dan penyucian adalah prinsip atau hal pokok dalam agama Islam sebelum melaksanakan praktik ibadah mahdhah lainnya. Paling tidak, hal bersuci dikaji setelah mengaji hal keimanan dan ilmu secara umum, sebelum mengaji soal salat, puasa, dan sebagainya. Salat yang merupakan tiang agama tidak diterima oleh Allah, jika dilakukan oleh orang yang tidak/belum bersuci terlebih dahulu.
Oleh karena itu, membicarakan hal-hal yang terkait kesehatan reproduksi adalah wajar dan tidak perlu dinilai sebagai tabu atau tidak layak dibicarakan. Bukankah komunikasi antara orang tua dan anak akan terputus ketika pembicaraan sudah menyentuh hal-hal terkait organ-organ reproduksi? Hal itu ternyata juga terjadi di lembaga pendidikan formal, sekolah, dan lain-lain.
Padahal pembicaraan atau perbincangan seputar kesehatan dan hak reproduksi sesunggguhnya sangat manusiawi. Ia sangat diperlukan bagi kebaikan atau kemaslahatan manusia itu sendiri, baik di level individu, keluarga, maupun sosial. Ia mengalir bersama kehidupan umat manusia sejak dilahirkan, menjadi balita, anak-anak, remaja, dan seterusnya. Tentu saja semua itu harus sesuai dengan takaran dan konteksnya.
“Dari Abi Hurairah ra. berkata: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Jika seseorang berposisi di atas empat cabangnya (tangan dan kaki) lalu telah bersungguh-sungguh kepadanya, wajiblah ia mandi besar". (HR. Muttafaq alihi). Imam Muslim menambahkan: "Walaupun tidak keluar sperma". (Lihat Bulughul Maram, hadis nomor 116 dan 117).
Dari Ali ibn Abi Thalib ra. berkata: "Aku adalah seorang yang sering keluar madzi (cairan agak lengket yang keluar dari kemaluan) lalu aku minta Al-Miqdad untuk bertanya kepada Nabi Muhammad. Ia pun bertanya kepada Muhammad (apakah seseorang yang keluar madzi diharuskan berwudu?)". Muhammad menjawab, "Hal itu perlu berwudu". (H.R. Muttafaq ‘alaih dengan lafaz al-Bukhari, lihat Ibn Hajar, Bulughul Maram, hadis nomor 63, h. 26, lihat juga Al-Shan’ani, Subulus-salam Syarah Bulughul-maram, juz 1, h. 89).
Di pesantren, madrasah, atau majelis taklim, sesungguhnya pembelajaran seputar kesehatan reproduksi dan seksual biasa dilakukan. Namun, hal itu dilakukan dengan bijaksana, dengan melihat siapa yang diajak belajar, melihat konteks masalah, dan tentunya pula sesuai dengan materi pembelajaran. Dengan metode dialogis atau cerita pengalaman atau bertanya jawab secukupnya, diharapkan tema-tema kesehatan reproduksi dan seksual dapat dibelajarkan dengan baik dan benar serta efektif.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Wilayah Jawa Tengah