- Tingkatkan PAD Melalui Program Inovasi Sinema Om
- Gerakan Percepatan Tanam Padi 1,2 Juta Hektar, Wamentan Sudaryono Awali Tanam Di Demak
- Kapolres Demak Himbau Masyarakat Pesisir Untuk Berhati-hati Berita Hoaks
- TMMD di Kartika Jaya Resmi di Buka
- Peringatan HSN Ke-26 Menuju Indonesia Emas
- Agus Dwi Lestari Jabat Plh Sekda Kendal
- Puslitbang Polri Laksanakan Penelitian ETLE di Ekswil Semarang
- Polres Demak Amankan Puluhan Botol Miras Sebelum Pertunjukan Orkes Dangdut
- TNI-Polri dan Satpol PP Lakukan Patroli Skala Besar Jelang Pilkada 2024
- Kapolres Demak Minta Warga Kerjasama Dalam Jaga Kamtibmas Jelang Pilkada 2024
Kontroversi Peringatan Maulid Nabi Muhammad
Oleh Gunoto Saparie
Maulid berasal dari bahasa Arab, yang artinya waktu kelahiran. Maulid merupakan peringatan hari kelahiran. Maulid Nabi Muhammad berarti peringatan hari ulang tahun kelahiran Nabi Muhammad. Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang mentradisi di kalangan kaum muslim memang tidak pernah dilaksanakan, baik di masa Nabi Muhammad, masa khulafa al-rasyidin, ataupun masa tabiin.
Akan tetapi, peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. merupakan tradisi yang telah memasyarakat di kalangan kaum muslim. Tradisi yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal tersebut marak diperingati oleh umat Islam bukan hanya di Indonesia. Tradisi ini disahkan oleh Negara, di mana hari tersebut ditetapkan sebagai hari mulia, sebagai salah satu hari besar Islam dan hari libur nasional.
Mengacu pada pendapat Imam As-Suyuthi, orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi Muhammad adalah Malik Mudzorofah Ibnu Batati. Malik adalah penguasa dari negeri Ibbril yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Ia pernah menghadiahi sepuluh ribu dinar kepada Syekh Debu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.
Baca Lainnya :
- Legenda Kitab Kuning di Pesantren
- Habib Nauval, Umat Islam Jangan Mudah Berdebat dan Diadu Domba
- Kesehatan Reproduksi di Mata Islam
- Taat Kepada Ulil Amri Wajib Hukumnya
- Benarkah Musik Haram?
Pada masa Abbasiyah, sekitar masa waktu abad kedua belas Masehi, perayaan maulid Nabi Muhammad dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Cara itu diberi pokok dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai besar mengelilingi kota disertai pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Akan tetapi, peringatan maulid Nabi Muhammad sampai hari ini ternyata masih memunculkan kontroversi. Ada dua pendapat yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad merupakan bidah mazmumah, menyesatkan.
Pendapat ini memakai pendekatan normatif tekstual dalam argumentasinya. Perayaan maulid Nabi Muhammad itu tidak ditemukan, baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Alquran dan juga Alhadis.
Pendapat kedua justru sebaliknya. Pendapat ini beralasan bahwa maulid Nabi Muhammad merupakan bid’ah mahmudah, inovasi yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat. Imam Ibnu Hajar Asqalani dan Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad, tetapi keberadaannya tidak bertentangan dengan nasihat Islam.
Bid'ah adalah sesuatu yang baru setelah Nabi Muhammad yang menyangkut masalah ibadah mahdah, seperti salat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Nabi Muhammad bersabda, "Salatlah sebagaimana engkau melihat saya salat". (H.R Bukhari). Sebagai ibadah mahdah, pelaksanaan salat di mana dan kapan pun harus persis sama dengan Nabi Muhammad; tidak boleh ada penambahan atau pengurangan. Penambahan atau pengurangan terhadap ibadah mahdah adalah bid'ah yang hukumnya adalah haram.
Akan tetapi, ibadah sosial yang menyangkut pengembangan kebudayaan, justru berlaku sebaliknya. Ia membutuhkan pembaruan dan inovasi, agar umat Islam tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh umatnya sendiri. Inovasi dalam bidang kebudayaan, justru dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Bagi pro maulid menolak anggapan jika Muhammad tidak pernah memperingati hari kelahirannya. Bahkan Muhammad memperingatinya setiap minggu, hanya saja terdapat nuansa perbedaan dengan yang dilakukan sekarang.
Muhammad lebih menonjolkan pada ibadah ritual, sedang kaum muslim sekarang lebih menonjolkan ibadah sosialnya. Ada sebuah hadis tentang hal ini, "Ketika ditanya tentang berpuasa pada hari Senin, Nabi Muhammad menjawab, itu adalah hari kelahiran saya, dan pada hari itu pula wahyu diturunkan pada saya".
SANDARAN ALQURAN DAN ALHADIS
Mereka yang pro dengan peringatan maulid Nabi Muhammad bukannya tidak memiliki beberapa sandaran ayat Alquran dan Alhadis. Dalam Alquran, misalnya, Allah bersabda, "Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira". (Q.S: Yunus: 58).
Abu Saikh r.a. mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abas r.a. mengenai penafsiran ayat di atas. Bahwa yang dimaksud dari kurnia Allah di ayat tersebut adalah ilmu, sedangkan yang dimaksud dengan rahmat Allah adalah Nabi Muhammad. Allah bersabda pula, "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Q.S: Anbiya': 107).
Hal ini bukan berarti kita menafikan penafsiran lain, seperti menafsiri makna rahmat di sini sebagai Alquran, iman, Islam, atau yang lainnya, karena memang rahmat Allah sangat luas. Rahmat terbesar bagi kita adalah Nabi Muhammad, karena beliau adalah rahmat seluruh alam.
Dari Ibnu Abas r.a. bahwa Rasulullah datang ke Madinah dan menemukan kaum Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, maka Nabi Muhammad bertanya kepada mereka: "Hari apa ini yang engkau puasai?", mereka menjawab, "Ini adalah hari besar, hari Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan meneggelamkan Firaun dan kaumnya kemudian Musa mempuasai hari tersebut karena rasa syukur, maka kamipun ikut berpuasa".
Maka Nabi Muhammad pun berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa a.s. dari kalian". Kemudian Nabi Muhammad pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut (H.R.Bukhari dan Muslim).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy mengatakan bahwa suatu manfaat yang dapat diambil dari hadis tersebut adalah sikap syukur kepada Allah atas anugerah yang telah Dia berikan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat atau dihindarkan dari bahaya, dan syukur tersebut diulang setiap tahun pada hari yang sama.
Syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan macam-macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, membaca Alquran. Nikmat mana yang lebih besar dari nikmat adanya Nabi Muhammad, Nabi rahmat?. Kemudian Ibnu Hajar menjadikan hadis ini sebagai dalil dianjurkannya perayaan maulid Nabi Muhammad.
Al Hafidz Imam As-Suyutiy mengatakan bahwa ada sebuah pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal, apakah hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah orang yang melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah, bahwa maulid Nabi Muhammad termasuk bid'ah hasanah, di mana bagi pelakunya akan mendapat pahala, karena di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasulullah dan memperlihatkan kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad.
Harus diakui, polemik tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad, bukanlah sesuatu yang baru. Namun, polemik tentang hal tersebut --yang mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam-- sempat mereda dan lenyap dari wacana sosial. Akan tetapi, hari-hari ini memang ada gejala untuk menghidupkan kembali polemik seputar cara merayakan Maulid Nabi Muhammad.
Meskipun demikian, agaknya tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad tidak bisa dihilangkan begitu saja dari masyarakat Indonesia. Apalagi ormas Islam arus utama justru merayakan Maulid Nabi Muhammad.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah