- 414 Masyarakat Kendal Terima Bantuan ATENSI dari Kemensos
- Emak Emak Solo Raya Gelar Deklarasi Dukung Prabowo Maju Pilpres 2024
- Siswa SMA Negeri 3 Purwokerto Ikuti Pelatihan Produksi Film Pendek
- Wabup Kendal Buka Pesta Siaga Binwil Semarang
- Polsek Tanon Sragen Ringkus Penipu yang Bawa Kabur Motor Milik Pelanggan HIK
- Remaja Gereja Santa Maria Sragen Dapat Sosialisasi UU ITE dan Pencegahan Bulying
- Warga Jati Sragen, Terima Sejumlah Bantuan dari YBM PLN UP3 Surakarta
- Kapolda Jateng Pimpin Apel Bersama TNI-Polri
- Polres Demak Gelar Jumat Curhat Dengan Wartawan
- Pemkab Kendal Gelar Hasil Pembangunan Tahun 2022
Sastra Eksil yang Terlupakan
Oleh Gunoto Saparie
Penulis, Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah
APAKAH sastra eksil Indonesia? Ia adalah karya-karya sastra sastrawan Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa pemberontakan PKI yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965. Ada satu ciri khas kehidupan sastrawan eksil yang menonjol, yaitu kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik. Peristiwa pergantian kekuasaan dari Orde Lama menjadi Orde Baru.
Dalam bahasa Inggris istilah “exile”, yang diindonesiakan menjadi “eksil”, memiliki tiga pengertian. Pertama, ia bisa berarti ketakhadiran. Ia merupakan sebuah absensi panjang (biasanya karena terpaksa) dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, eksil bisa berarti pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri.
Baca Lainnya :
- Kemungkinan Nobel Sastra untuk Sastrawan Indonesia
- Hari Anti Korupsi Sedunia
- Takut Badut
- PPKM Diperpanjang
- Zona Maling
Sedangkan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah “exile” itu sendiri ternyata berasal dari bahasa Latin yaitu “exsilium” (pembuangan) dan “exsul” (seseorang yang dibuang).
Mengacu pada tiga pengertian tersebut, kita melihat ada faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing. Hal ini merupakan faktor utama penyebab kondisi yang disebut sebagai “eksil” tersebut. Dislokasi geografis itu bisa terjadi disebabkan oleh negara secara resmi atau justru karena pilihan pribadi mereka sendiri.
Pada kasus pertama, mereka adalah para pelarian politik yang terusir atau diusir dari negeri kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa. Sedangkan pada kasus kedua mereka adalah pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.
Sastra eksil adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya pembuangan politik tersebut.
Para sastrawan eksil berada dalam kondisi keterpisahan berlarut-larut di negeri asing dengan Indonesia. Hal itu tentu saja mengakibatkan mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi, kenangan, dan harapan. Mereka terasing dari realitas kehidupan rakyat Indonesia.
Dalam situasi dan kondisi semacam, para sastrawan eksil berusaha mencoba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi perlawanan moral-kultural kepada represi sistem kekuasaan terhadap kebebasan mengutarakan pendapat di Indonesia.
Akan tetapi, mengapakah sejarah sastra Indonesia ternyata mengabaikan karya-karya dan posisi mereka? Agaknya, harus diakui, ada mata rantai yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia. Dalam kaitan ini, kita menjadi prihatin ketika penerbitan sejumlah karya sastra eksil kurang bergema, bahkan nyaris tidak terdengar.
Sebut saja, misalnya Kisah Intel dan Sebuah Warung karya Sobron Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya 15 penyair, antara lain Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan.
DUTA-DUTA ILMU PENGETAHUAN
Kita tahu, ketika Presiden Soekarno masih berkuasa, banyak pemuda, intelektual, dan seniman dari Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk belajar ataupun menyerap modernisme yang terjadi di Eropa. Mereka diharapkan dapat mempelajari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sampai kebudayaan negeri lain, untuk diaplikasikan di negeri ini. Mereka diharapkan menjadi duta-duta ilmu pengetahuan dan kebudayaan demi kemajuan Republik Indonesia.
Akan tetapi, ketika tragedi G30S/PKI tahun 1965 meletus, sebagian besar dari delegasi Indonesia yang belajar di negeri asing ternyata tak dapat kembali ke Indonesia. Perkembangan situasi politik dan pergantian rezim menjadi penyebabnya. Akibatnya, mereka terpaksa hidup di negeri asing dengan segala kisah sedih, kenangan, harga diri, ataupun identitas sebagai manusia.
Mereka merindukan Tanah Air, namun tidak dapat kembali, sehingga mengalami guncangan mental. Mereka hidup jauh dari lingkaran keluarga, tak dapat lagi menyentuh wajah-wajah yang mereka rindukan. Dalam kondisi psikologis semacam ini, maka puisi dan prosa menjadi media alternatif untuk menyalurkan hasrat dan kerinduan para sastrawan eksil.
Hasrat untuk pulang, kisah perjuangan di negeri asing, pergumulan perasaan untuk tetap menjadi Indonesia, atau justrru merasa asing, berkelindan dalam karya-karya sastra mereka. Para sastrawan eksil itu kebanyakan hidup di Eropa Barat, yaitu di negeri Belanda dan Prancis.
Mereka dengan terpaksa memilih hidup dalam pembuangan politik itu karena keyakinan mereka bahwa mereka akan segera dijebloskan ke dalam penjara atau Pulau Buru kalau mereka kembali ke Indonesia. Bahkan kemungkinan mereka juga akan dibunuh. Para sastrawan ini sangat takut pulang ke Indonesia. Mereka lebih memilih hidup eksil di negeri asing. Mereka tidak ingin mengalami kesulitan, bahkan bisa saja terbunuh, di negeri sendiri.
Keberadaan sastra eksil Indonesia di luar negeri selama ini memang hanya diketahui oleh segelintir pembaca sastra modern Indonesia. Segelintir pembaca itu mungkin kebetulan hidup di negeri yang sama atau berdekatan dengan negeri tempat hidup para sastrawan eksil ini. Akan tetapi, bisa juga para pembaca ini hidup dan tinggal di Indonesia serta memiliki akses ke karya mereka.
Ketika peristiwa berdarah tahun 1965 terjadi, mereka sedang berada di luar negeri dengan berbagai tujuan; mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, sampai menjadi delegasi suatu perayaan. Mereka harus menunda kepulangan, karena situasi di Indonesia begitu genting. Ada aksi pengganyangan terhadap mereka dianggap sebagai tokoh atau anggota PKI, termasuk simpatisannya.
Sampai akhir tahun 1980-an, kewarganegaraan Indonesia enggan mereka lepaskan. Mereka memilih berstatus pengungsian politik katimbang harus berganti kewarganegaraan, dengan keyakinan suatu saat akan pulang. Akan tetapi, ketika usia senja tiba mereka terpaksa berganti kewarganegaraan, sebagai syarat mendapat pensiun.
MEMPERKAYA KHAZANAH SASTRA
Oleh karena itu, saat beberapa tahun lalu terbit sebuah kumpulan puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar, tentu saja hal itu diharapkan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi ini memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi buku Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Ada dua nama dari kelimabelas penyair dalam buku ini yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.
Hersri Setiawan mendefinisikan secara sederhana bahwa sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang dimaksud adalah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil Soekarno ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer Soeharto.
Ini berarti, yang disebut “Eksil Indonesia” dalam konteks ini adalah “eksil politik”. Bukan “eksil sosial-ekonomi”, seperti yang pernah dialami orang-orang eksil Indonesia pada masa kolonial yang harus bekerja sebagai buruh dan tenaga administarsi di perkebunan-perkebunan besar di berbagai negeri, seperti Afrika Selatan, Sri Langka, Suriname, dan Kaledonia Baru.
Tema home sick, rindu kampung halaman, ingin pulang, dan kangen kepada keluarga di tanah air, sangat dominan dalam karya-karya para sastrawan eksil. Boleh dikatakan mereka telah puluhan tahun mereka mengidap penyakit ini. Akan tetapi, mereka tidak mungkin pulang. Pulang memang bisa menjadi terapi bagi kaum eksil Indonesia di Eropa yang kejangkitan home sick, namun hal itu tidak mudah dilakukan. Meskipun pulang itu merupakan naluri alami yang melekat pada diri setiap manusia, tetapi kaum eksil justru mengalami hambatan untuk melakukannya.
Selama puluhan tahun para sastrawan eksil itu teralang untuk pulang. Tentu ada sejumlah sebab mengapa hal ini bisa terjadi. Akan tetapi, sebab paling utama adalah dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan penguasa Orba. Mereka dianggap terindikasi terlibat peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Mereka adalah para pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan onderbow PKI.
Oleh karena itu, keindonesiaan menjadi bayangan jauh maupun dekat dalam imaji para sastrawan eksil. Beberapa sastrawan eksil, seperti Hersri Setiawan, Sobron Aidit, dan Agam Wispi, serta beberapa nama lain seperti A. Kembara, A Kohar Ibrahim, Alan Hogeland, Asahan Aslam, Chalik Hamid, Kuslan Budiman, Magusig O Bungai, Mawie Ananta Jonie, Nurdiana, Soepriadi Tomodihardjo, Satyadharma, dan Z Afif, terus-menerus bergumul dengan kenangan akan tanah air. Memang ada pergolakan politik meletup lewat puisi dan prosa, tetapi kerinduan akan kampung halaman ataupun sang ibunda sering mencuat dalam karya-karya sastra mereka.
Perhatikan, misalnya, karya Hersri Setiawan di bawah ini.
SAJAK ULANG TAHUN
Jangan tanya siapa aku
Karena aku hanya satu pribadi
Yang berjanji pada sendiri
Tatap benda-benda di langit
Mata hari di siang hari
Bulan bintang di waktu malam
Dalam puisi tersebut, Hersri Setiawan, misalnya, mempertanyakan diri dan mempertaruhkan identitasnya, dalam kenangan yang timbul tenggelam dalam aku-lirik. Ada kebimbangan dan keraguan, problem yang dialami sebagian besar sastrawan, yang hidup di tanah asing, tetapi masih terus berharap agar bisa pulang.
Kenangan akan Tanah Air dan keluarga terus membayang di kalangan sastrawan eksil. Hasrat pulang semakin tak terbendung, tetapi kepulangan hanya akan menyisakan tragedi dan kisah sunyi. Mereka ingin pulang, tetapi apakah yang bisa dilakukan ketika situasi politik di Tanah Air tidak memungkinkan?
Agam Wispi dengan bagus melukiskan konflik batin sastrawan eksil dalam puisi di bawah ini.
ZIARAH
Akhirnya orang menziarahi dirinya sendiri
Membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah mati
Di makammu aku mau menghidupkan kembali
Kata terima kasih
Meski kau tak mendengarnya, hanya suara kata hati.
Begitu juga dengan Asahan Salam. Penyair ini teringat pada sosok ibu yang telah lama ditinggalkan. Asahan dengan jitu menulis puisi yang merefleksikan kerinduan seorang ibu terhadap anaknya yang mengembara di negeri asing. Ibunda selalu menjadi rumah yang sebenarnya, ia tak tergantikan oleh konstruksi fisik ataupun kebahagiaan yang lain.
Suara bunda terus membayang untuk meminta anaknya pulang, yang disekap perjalanan, dan terkatung-katung di negeri asing.
KELASI PULANG SENJA
Pulang anakku, terlalu lama kau bermain
Aku yang selalu berjalan
Aku manusia pergi yang selalu lupa waktu kembali
Dan beginilah hukuman itu datang
Suara bundaku tak hilang hilang
Kini masih senja
Tapi juga sudah sia-sia
Bila kembali
Hilang sudah wajah bunda
Kepedihan dan rindu Tanah Air yang tak sampai memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Meskipun mereka berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang Tanah Air mereka. Mereka membayangkan diri, seolah-olah berada di Indonesia, padahal fisiknya berada di negeri asing.
SESUATU YANG IMAJINER
Menurut Benedict Anderson, Tanah Air bagi para eksil agaknya merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.
Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran.
Mengapakah sejarah sastra Indonesia modern mengabaikan kehadiran sastra eksil ini? Sebuah pertanyaan yang membuat kita tertegun. Apakah terabaikannya sastra eksil ini hanya semata persoalan literer atau justru karena masalah politik? Dalam pengajaran sastra di sekolah para siswa tentu tidak mengenal para sastrawan eksil dan karyanya, karena tidak diajarkan oleh guru mereka. Sastra eksil hilang dari mata rantai sejarah sastra Indonesia modern.
Tentu saja kurangnya pengakuan terhadap sastra eksil ini terasa tidak adil. Suara sastra eksil hanaya terdengar sayup-sayup, meskipun Orde Baru telah diganti dengan Orde Reformasi. Betapa pun kita tidak mungkin mengingkari kenyataan sejarah.
Dalam kaitan ini saya setuju dengan pernyataan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri. Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Kita memang seharusnya terpanggil untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.
DAFTAR PUSTAKA
Alham, Asahan, 2002. Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta: Amanah Lontar (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Sejarah dan Budaya IndonesiaAmsterdam)
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan membaca lagi (Re interprestasi Fiksi Indonesia 1980-1995). Jakarta: Indonesia Tera.
Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.
Damono, Sapardi Djoko. 2004. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional.
Hudson, Wiliam Henry. 1932. An Introduction To The Study Of Literature. London: George G. Harrap & Co. Ltd.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Gama Media: Yogyakarta.
Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner, Menyanding Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
Sitomorang, Saut. 2001. Cyber Grafitti: Polemik Sastra Cyberpunk Kumpulan Esei. Bandung: Penerbit.Angkasa
Situmorang, Saut. 2006. Sastra Eksil, Sastra Rantau http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=195