- Peresmian Griya Arkana, Kapolres Demak Wujudkan Kesejahteraan Anggota Polri
- Polres Demak Imbau Masyarakat Tidak Menggunakan Jebakan Tikus Beraliran Listrik
- Antisipasi Kepadatan dan Kecelakaan, Polres Demak Giatkan Pengaturan Lalin di Pagi Hari
- Satlantas Polres Demak Sapa Pelajar, Edukasi Tertib Lalu Lintas dan Safety Riding
- Kodim 0715/Kendal Gelar Patroli Humanis Bersama Unsur Masyarakat
- Polsek Demak Kota Gencarkan Edukasi Anti-Bullying
- Ketua FKUB dan Tokoh Agama Apresiasi Kinerja Polri dalam Penanganan Demonstrasi
- Menko Bidang PM Launching Program Aktivasi 1001 Titik Pemberdayaan Masyarakat di Kendal
- Bupati Resmikan Program Rehabilitasi Tubing Genting TJSL PLN di Desa Getas
- Ketua KNPI Demak Apresiasi Polri dalam Penanganan Aksi Massa
Ramadan dan Perekonomian Masyarakat
Oleh Gunoto Saparie

SAAT ini umat Islam sedang suntuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Berpuasa merupakan salah satu rukun Islam, yaitu menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Menahan diri adalah inti dari berpuasa.
Namun, pertanyaan muncul ke permukaan. Mengapa pola konsumsi masyarakat mengalami peningkatan di bulan Ramadan? Setelah seharian menahan diri dari makan dan minum, banyak yang "lapar mata" ketika menjelang magrib. Mereka ternyata tidak mampu mengontrol keinginan untuk membeli segala macam makanan dan minuman yang enak dan lezat-lezat. Mereka memborong berbagai macam makanan dan minuman yang menggugah selera.
Ramadan boleh dikatakan identik dengan lonjakan belanja aneka macam kebutuhan rumah tangga. Lonjakan tersebut meliputi meningkatnya jumlah barang maupun jenis barang yang dibeli. Bukan hanya barang-barang primer, tetapi juga sekunder. Barang-barang yang bersifat keinginan seolah berubah menjadi kebutuhan untuk dibeli. Akibatnya, pola konsumsi masyarakat selama Ramadan mengalami perubahan.
Baca Lainnya :
- Puasa Umat Sebelum Muhammad
- Menghidupkan Malam Ramadan
- Sidang Isbat, Perlukah?
- Tradisi Ruwahan Menjelang Ramadan
- Legislasi Fikih Jinayah
Sesungguhnya perubahan itu lebih disebabkan oleh faktor psikologis. Karena berpuasa, orang cenderung merasa bahwa asupan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang. Sehingga muncul keinginan untuk mengganti kekurangan yang dirasakan selama siang dengan menggantinya pada saat malam setelah berbuka puasa.
Akibatnya, banyak rumah tangga yang berusaha menyediakan menu lebih lengkap selama Ramadan. Menunya tidak seperti biasanya, karena ditambah dengan aneka tambahan makanan pembuka dan juga makanan penutup.
Dalam kaitan ini, maka kita dapat memahami ketika Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan bahwa tren pemulihan ekonomi nasional masih terus berlanjut seiring dengan datangnya momentum Ramadan. Pada Ramadhan tahun ini, peningkatan konsumsi akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Optimisme ini sejalan dengan perbaikan skor purchasing managers index (PMI) manufaktur Indonesia yang terus berada di atas level 50 selama 6 bulan berturut-turut.
THR DONGKRAK DAYA BELI
Memang harus diakui, momentum Ramadan pemicu paling positif dalam mendorong aktivitas ekonomi. Momen ini memiliki andil penting mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat. Makanan, sandang, dan jasa (transportasi dan pembayaran) adalah komoditas dan sektor paling banyak disasar. Hasil kajian Nielsen Global Survey tahun lalu menyebut, momen Ramadan mendongkrak permintaan barang konsumsi hingga 9,2 persen.
Mesin ekonomi makro (perusahaan) dan mikro (rumah tangga) boleh dikatakan memanas akibat denyut ekonomi dengan peningkatan konsumsi di bulan Ramada. Sejak Ramadan tiba, berbagai peristiwa justru memicu berbagai geliat perekonomian. Tradisi berbagi ‘ruwahan’ dan ‘munggahan’ diikuti antusiasme aktivitas filantropis lain, misal berinfak, bersedekah, zakat, wakaf, dan takjil gratis, tentu saja membuat gerak perekonomian meningkat.
Likuiditas di masyarakat pun bertambah. Uang yang awalnya diam, bergerak menumbuhkan aktivitas ekonomi, menciptakan efek pengganda ekonomi. Terjadi percepatan perputaran uang, pergerakan barang, dan jasa. Agaknya konsumsi masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB).
Perilaku konsumerisme ternyata tidak hanya memberikan pengaruh negatif. Ia juga memicu pengaruh positif terhadap interaksi perekonomian masyarakat. Sementara itu daya beli masyarakat terdongkrak tunjangan hari raya (THR) ditambah gaji ke-13 PNS, TNI, Polri. Stimulus ekonomi ini bisa memicu naiknya daya beli.
Memang, kita sempat pesimis bagaimana situasi perekomian di bulan Ramadan, apalagi pandemi Covid-19 belum sepenuhnya reda. Paling tidak ketika beberapa waktu lalu terjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sektor riil sangat merasakan akibatnya.
Sektor pariwisata dan kuliner terdampak, sehingga banyak yang mengalami kebangkrutan. Pandemi Covid-19 membuat ekonomi RI jatuh ke jurang resesi dan mengakibatkan pengeluaran per kapita masyarakat menurun. Apalagi banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) akibat perusahaan melakukan efisiensi.
Oleh karena itu, ada semacam pesimisme terhadap pertumbuhan perekonomian kita. Mungkinkah perekonomian Indonesia kuartal II 2022 bisa tumbuh di angka 7 persen? Pemerintah tidak boleh gamang untuk serius mengupayakan pemulihan ekonomi, sementara di saat bersamaan harus menjaga kesehatan rakyatnya.
FLUKTUASI HARGA
Sampai hari ini memang masih terjadi fluktuasi harga barang-barang kebutuhan pokok di pasaran. Fluktuasi harga terjadi karena adanya pergerakan kurva permintaan dan penawaran yang diakibatkan oleh adanya perubahan salah satu atau lebih faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya pergeseran kurva permintaan dan penawaran.
Kekuatan pergeseran kurva permintaan dan penawaran akan menentukan tinggi rendahnya tingkat harga yang berlaku di pasar. Meningkatnya konsumsi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan selama bulan Ramadan ditambah dengan tingginya permintaan barang-barang kebutuhan untuk Lebaran mengakibatkan terjadinya pergeseran kurva permintaan. Bertambahnya permintaan jika tidak diimbangi dengan penawaran yang sebanding akan memicu kenaikan harga. Biasanya kenaikan harga seperti ini hanya bersifat sementara, setelah musim Lebaran berlalu harga-hargapun akan bergerak turun (normal).
Dalam kaitan inilah, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah kebijakan; pertama, pemerintah dapat melakukan operasi pasar terutama untuk daerah-daerah yang rawan terhadap kenaikan harga. Tujuan operasi pasar adalah menyediakan barang kebutuhan sesuai harga berlaku sehingga dapat menekan sejumlah spekulan yang akan menawarkan barang dengan harga yang lebih tinggi.
Namun dalam pelaksanaannya perlu adanya pengawasan terhadap proses disribusi barang tersebut agar sampai kepada konsumen yang dituju. Selain itu, pemerintah dapat melakukan impor terhadap produk yang mengalami kenaikan permintaan, sehingga kekurangan permintaan dapat dipenuhi melalui barang impor (yang mengakibatkan bergesernya kurva penawaran).
Cara ini sebaiknya bersifat jangka pendek untuk memenuhi kekurangan ketersediaan produk. Dalam jangka panjang pemerintah perlu meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan yang dapat merangsang pertumbuhan iklim investasi, sehingga kebutuhan konsumsi dalam negeri dapat dicukupi oleh produksi dalam negeri.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Wilayah Jawa Tengah